Halaman

Senin, 19 Desember 2011

BOM


Kini, biar kuteriakkan padamu dengan lantang bahwa Aku Membencimu!! Aku ingin mengakhirimu dengan sekali ledakan dari sebuah bom yang aku rakit sendiri khusus untukmu. Ya, khusus untukmu sampai kau hancur berkeping-keping hingga tak bersisa.
Kau. Kau yang slalu membuat tubuhku menggigil di sebuah pojokan sunyi dengan bibir yang biru dan bergetar. Kata-katamu memasungku, melumpuhkan titik syaraf semua tubuhku. Dan aku tergugu dalam sebuah ketakutan. Brengsek!!.

***
"Bodoh, penakut, terus saja kau begitu, dasar tak berguna. Pecundang!!!"
kata-kata yang kau lantangkan itu hanya sebuah pisau tumpul bagiku tapi itu mematikan. Ya, aku tak terlalu menghiraukannya tapi perlahan, benar-benar melumpuhkanku!!
"Hahaha. . . " dan kau semakin tertawa. Tertawa mengejekku yang semakin kau permainkan, aku semakin terkunci.
Hingga saat ini aku membiarkan tubuhku terkungkung di sebuah pojokan dengan tubuh menggigil dengan bibir biru yang menggetar. Dan hanya melayang-layangkan pikiranku ke suatu waktu yang tak beraturan. Masa yang entah. Tentu, masih ditemani tawa membahana yang memekakan telingaku dari suara setan milikmu.

***
Aku semakin menggigil. Menggigil yang mengulum takut. Hingga pikiranku berada pada sebuah memori tentang sebuah kata sederhana, "hidupkan tombol on, maka semuanya akan menyala"
"Hahahaha. . . " tawaku menukik keluar mengalahkan suara setanmu itu.
Dan seperti sebuah mesin yang diperintah, pikiranku mengambil komando. Perlahan, perlahan dan perlahan, tubuhku menghangat. Api serasa meletup dahsyat dalam tubuhku. Hahaha. . Sebentar lagi kau akan hancur. Lihatlah!! Aku akan merakit bom terdahsyat hanya untukmu. Bom yang hanya menghancurkanmu saja tanpa menghancurkan sekitarnya. Hah. . Aku ini masih mempunyai nurani, tau!! . Yang aku inginkan hanya dirimu.
(*)

"Mari menset pikiran kita supaya semuanya bisa bergerak, kau adalah pengemudi ulung. Jalan-jalan yuuuk!!! Eaaaaa. . . "
Bismillah. . . Semoga Allah slalu memudahkan kita dalam bergerak. . :)

Kamis, 03 November 2011

Sepasang Pupil di Padang Sabana



Oktoberku  mendendangkan nyanyian yang mengundang asma asmaraku bersuara
Ketika sepasang pupil  menyudut  di sebuah altar padang Sabana
Bersama angin segar menyimpulkan sensorik warna yang kemudian menyemayamkan zigot-zigot rasa dalam cawan hati merah membara

Kau datang dengan tentakelmu  yang menceracau gulma-gulma tak berasa
Hingga perlahan mencungkil sedikit demi sedikit epidermis yang tlah kubangun kokoh dengan tembok egoisme dari semburat kata yang bernama cinta

Ingin kukatakan padamu
Kenangan pupilmu telah bersemayam lembut dalam setiap jengkal simpul-simpul syaraf memoriku
Menceracau sembari mengiangkan aroma Sabana yang hijau membahana

Dan Inikah yang kemudian mereka katakan sebagai  Cinta Pertama??

Jakarta, 29 Oktober 2011
Rosika Azahra


Puisi ini puisi yang diikutkan dalam event mingguan Unsa dengan tema " Puisi Bio " dan  alhamdulillah masuk top 4. Meskipun gak juara, hmmm... tetep semangat aja deh...:)

Selasa, 01 November 2011

Sebuah Proses



Tapak jejak sedang kau lalui. Jangan pernah khawatir, karena akan ada berbagai rute yang akan menjadi pengantarmu untuk mencapai sesuatu yang kau impikan, sesuatu yang berarti. Yang bisa kau fahami, yang bisa kau renungi, yang bisa menjadikanmu manusia yang bijaksana.

Jangan kau takut dengan jalanan terjal, karena ia akan mengajarkanmu bagaimana kau harus hati-hati dalam meniti. Atau jalanan yang berkelok. Jika kau rasakan, cobalah, suatu hari nanti kau akan terbiasa. Atau malah semuanya akan menjadi sebuah cerita indah untuk kau ceritakan nanti.

Semuanya adalah proses, dan akan terus menjadi proses. Sampai kau benar-benar faham tentang proses itu.
Hanya satu, tersenyumlah. Bahwa ada Allah yang selalu mencurahkan kasihsayang-Nya pada hamba-hambaNya.

Selamat Berjuang ...!!!!

Tak Penat Merajutnya



Pada isyarat apa aku mulai merenda?
Tentang semua yang slalu saja mengikis rasa

Aku tau, rajutan benangku belum sesempurna permata
Bahkan yang kurasa hanya peluh air mata yang membahana

Aih.. Aku tetap akan merajutnya
Terus merajutnya
Tak penat untuk merajutnya
Dan selalu merajutnya
Hingga kau dahaga
Akan rajutan peluh penuh makna



Jakarta, 29 Oktober 2011
Rosika Azahra

Nyanyian Reranting Kering




Aku tau, aku hanya sebongkah nyanyian kecil yang bernyanyi menggemakan reranting kering
Rinduku terselip di sana, diantara ketiak pohon yang entah mungkin tak kau tau tentang aku yang selalu menanti tatapan purnama mata kita

Apakah kau seperti aku juga? lama tak bersua bahkan rona-rona semburat jinggapun kini tlah samar dalam hamparan kulit-kulit lupa

Duhai engkau yang tlah lama tak bersua,
Apakah memang jarak penghalang rindu kita?
Ataukah ego telah berlaga menutupi sesuatu yang kita sebut saudara?

Berteriaklah sekencang-kencangnya, jika semuanya masih ada
Berteriaklah...!!!!
Hingga mengguncang kaca-kaca pemantul rasa

Selembar,
Hanya selembar oase rupa yang aku temukan di sana
:kita tlah dewasa

Lalu??
Biar semuanya berbicara
Aku menunggu loncengmu menggema


Jakarta, 27 Oktober 2011
Rosika Azahra

Untuk Saudariku yang tlah lama tak bersua. :(

Gelungan Rindu Dalam Bekunya Boneka Salju




Bersama nyanyian pipit di pelupuk senja
Kulantunkan namamu bersama kepingan salju di sudut biru
Merah jambu merekah
Kemudian terdiam
:Beku

Remah-remah senja masih berdentum ria
Beku-beku yang dulu, kini menjelma boneka salju dalam tatapan sendu menanti rindu

Waktu telah menjamah peluh
Mendentingkan lonceng belasan angka

“Boneka salju menunggu,” katamu
Kerlingannya mengaum dalam balutan gaun cinderella penuh pesona

Dalam dawai tiga, yang siap menyirat embun bersahaja
Kau datang bersama pekat kabut yang menelusup indah menggetar setangkai rasa
“Karna boneka saljupun merindukanmu, cinta
Bahkan ketika pipit masih bergelung manja dalam dekap kasih induknya”

Mari nyalakan 99 lilin sukacita
Meluluhkan bekunya boneka salju yang slalu memamah rindu

Dalam naungan Asma-Nya
Di bawah kubah yang jumawa
Kita sematkan cincin yang tlah lama mendekam dalam kotak hati merah saga

Jakarta, 09 Oktober 2011
Rosika Azahra

Puisi yang gak lolos event Unsa. :'(
Dari pada nantinya entah kemana, mending saya publish aja di sini.

Selasa, 18 Oktober 2011

Karna Kau Istimewa, Selamat berjuang, cinta




Ketika Kau menyeruakkan lantang tentang apa yang kau sebut cita-cita.
Maka di sana akan ada berbagai sebuah nyata, yang akan membuatmu tetap berjalan atau malah mundur meninggalkan medan laga.

Sini, kemarilah mendekat. Biar kubisikkan padamu.
Tak perlu ragu, tak perlu malu, tak perlu terlalu sembilu begitu.
Tatap saja semua. Sugesti adalah senjata. Kekuatan akan bersama sugesti anda.

Atau jika malah nyata berbicara akan suatu beda
Santai saja, justru kau akan mengenal suatu yang tak kau duga, bukan?

Masih ingatkah kau wahai cinta?
Tentang lantunan terindah yang menggema memecah mayapada?

Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu. Dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui ( Al- Baqarah; 216)

Janganlah kamu bersikap lemah dan janganlah (pula) kamu bersedih hati. Padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya) jika kamu adalah orang-orang yang beriman (QS Al Imran ; 139)

Kalau sudah begitu, bagaimana?
Apa kau masih bermuram durja? Tak pantaslah kau begitu, cinta.
Mari tatap medan bersama. Sunggingkan senyum sukacita. Kau istimewa. Kau adalah pejuang yang berbahagia. Pelangi menunggumu, cinta.

Dan kini, Selamat Berjuang Untukmu, duhai cinta.


Jakarta, 18 Oktober 2011

Selasa, 11 Oktober 2011

Resensi : Berapa Harga Cintamu??





Judul             : Berapa Harga Cintamu?

Penulis          : Cepi Komara

Penerbit         : Krebelia

Tahun Terbit : 2005




Ketika puisi berbicara,maka sebuah kata akan menjadi sebuah cerita indah nan mencengangkan. Kadang, puisi pun menjadi sebuah perenungan tersendiri hingga kita mampu menemukan sebuah arti yang tersembunyi.

Berapa Harga Cintamu adalah sebuah buku yang berisi 45 buah puisi yang kesemuanya hasil karya Cepi Komara. Puisi-puisi ini dibuat penulis semenjak pertama kali ia menulis, baik yang pernah dipublikasikan di majalah dinding sekolah, media-media cetak maupun yang belum dipublikasikan di media manapun. Termasuk yang dibuat saat proses revisi buku ini.

Menariknya, dari setiap puisi ternyata ada kisah tersendiri yang melatarbelakangi lahirnya puisi-puisi tersebut. Dari mulai masalah cinta sampai masalah-masalah lainnya.

Bahasanya ringan, mudah dipahami. Dalam pemilihan kata pun, penulis sangat kreatif. Kadang menciptakan istilah baru yang belum pernah ada. Seperti puisi dengan judul Anaphiliani. Di mana Anaphiliani berarti Aku Cinta Kamu (hmm.. dari mana ya penulis mendapatkan arti seperti ini, tengok aja bukunya J ). Beberapa puisi bahkan ada  yang benar-benar menyentuh. Seperti salah satu puisi berikut;




Orang Asing

Aku berjalan di gelapnya jiwa
Tiba-tiba terdengar suara-suara menegur;

Bumi membentak: “ Jangan injak aku!”
Langit melotot:” Jangan menatapku!”
Pohom mengusir:” Jangan berteduh di sini”
Bulan menampik:” Aku bukan temanmu!”
Bintang memaki:” Bodoh, aku tak bisa memberi apa-apa!”
Hujan mengejek:” Dasar cengeng! Begitu saja menangis”
Matahari berseru:” Sudah, tetaplah di kegelapan!”

Akhirnya aku pulang ke rumah
Menemui orang tua dan saudara-saudaraku
Mereka menyambutku seperti tamu
Lalu bertanya,”Berapa lama mau menginap??”

Aku merasa mau mati saja
Tapi kuburan malah marah,
“Heh pesimis gila, ini belum saatnya!”

Hanya satu rumah yang mau menerimaku
Bahkan untuk siapapun
Pintu-Nya selalu terbuka
Lalu aku bertanya pada sesama pengunjung

“Kemana tuan rumahnya?”
Dia menjawab sambil tersenyum
“Dia tidak kemana-mana, tapi ada di mana-mana.
Ia sangat mengenali kita walaupun kita tak mengenal-Nya.”

Aku bertanya lagi,” Apa rumah ini bisa jadi rumahku?”
Ia menjawab,”Asal hatimu jadi rumah-Nya...”

2003


Terlepas dari masalah EYD , seperti dalam penulisan setiap judul puisi yang tidak diawali dengan huruf kapital, buku ini sangatlah keren. Memberikan gambaran kepada kita bahwa ‘inilah hidup’ dengan segala intrik ceritanya. Dan mari berkarya lewat kata-kata.                                                                                                                                                                       

Sabtu, 08 Oktober 2011

Mana Tempat Pemancingannya, Ya..?


Lebaran diundur ( sebenarnya bahasa yang lebih tepatnya apa ya, hehe ). Untuk memanfaatkan waktu yang ada, anak-anak IPA alumni SMA N 01 Bantarkawung _ atau sering disebut Cemara Lima_ 2007, merencanakan acara reuni sebagai ajang silaturrahim. Semuanya kumpul di rumah Chichi yang bertempat di Jipang. Rapat acara pun berlangsung seru.

Setelah berunding memikirkan rencana acara, maka buka bersamalah yang menurut mereka paling cocok, mengingat waktu yang kian meped bagi para perantau untuk balik lagi melakukan aktifitasnya di tanah rantau.

“Kita butuh tempat untuk melangsungkan acara ini,bos” Kata Freedy sambil membereskan jambul rambutnya.
Sementara Dodik dengan otak krirtisnya nampak berfikir 180 derajat. Matanya sesekali berkerling-kerling menunjukkan dia telah menemukan ide cemerlang.

“Aku tau, tempat yang enak. . . lesehan di Banjarsari,di sana harganya agak miring bos menyaingi miringnya menara Pisa di Roma” kata Dodik dengan Ekspresi yakinnya. Sesekali fikirannya melayang membayangkan lele-lele yang berhasil ia tangkap. Dia tersenyum senang.

Ika dan Rini hanya terbelalak mengamati tingkah Dodik. Mereka yang memang orang Buaran_dekat Banjarsari_ hanya bisa melongo menanggapi usul Dodik.

“Emang ada ya lesehan di Banjarsari??” Kata Ika dan Rini berbarengan.

“Ah kau, kalian ini perantau sejati, mana tau perkembangan daerah sini,” Dodik membela diri.

“Benar gak Zan?” lanjutnya sambil melirik Fauzan yang dari tadi sibuk berhay ria dengan Diah yang berada di sampingnya. Maklum dia kan baru datang ketika acara sudah dimulai.
Fauzan yang kaget hanya bisa bergidik nyengir “ Entahlah” , jawabnya singkat sembari melanjutkan temu kangennya bersama Diah.

“Ah.. sudahlah, kalian ini banyak bertele-tele. Memangnya kau pernah ke sana Dik?” Salli dengan muka seorang profesionalnya melanjutkan sesuatu yang menurutnya bertele-tele itu.:)

“Kau ini, meragukan pengetahuanku ya....  Aku pernah ke sana sebelumnya. Tempatnya pokoknya asyik lah.Kita memancing sendiri di sana.”

Semuanya nampak manggut-manggut dengan penuturan Dodik. Bahkan saking semangatnya, anggukan Fauzan menjatuhkan kepalanya hampir mengenai lantai. Dan ternyata ia bukan ikut manggut-manggut, tapi ia itu sedang mengantuk berat.

“ Ya sudah, bagaimana kalo sekarang juga di antara kita ada yang survei ke sana” Usul Titi dengan gayanya yang atletis.
“Lebih baik yang ke sana itu Dodik sama Iyoz aja sekalian nganter Ika sama Arini pulang ke rumah, bagaimana?” lanjutnya lagi.
“Okelah kalau beg..beg... beg...........” Yogi menjawab ala warteg band, tapi sayang dia tak mau berhenti untuk terus mengucapkan beg... beg.. beg.... Akhirnya ia bersenandung ala bebek :)

*****

Siang itu benar-benar begitu terik. Tapi teriknya mentari tidak menyurutkan langakah mereka untuk  mencari tempat lesehan demi kelancaran buka bersama. Sesekali Fatamorgana menghampiri Mereka. Jalan–jalan beraspal berubah menjadi padang pasir. Lalu di sisi-sisinya kaktus mengelilingi. Ika, Arini, Dodik dan Iyoz terpaksa menelan ludah sendiri. Batal puasa gak ya mereka itu? :)

Motor mereka sudah melintasi persawahan Bantarkawung. Lalu lanjut menuju Pertigaan Pangebatan. Hingga akhirnya melintasi perbukitan Cemara lima.Di sanalah sekolah mereka bertengger dengan gagahnya. Sekolah yang pernah mewarnai  hari-hari  mereka. Belajar dengan ditemani suara sapi-sapi yang lapar mencari rumput. Atau mbek-mbek yang mengembek ingin ikut belajar berhitung. Katanya supaya bisa ikut negosiasi jika nanti harganya disalahgunakan.:)

Kini mereka melintasi daerah Karangwungu. Sebuah desa yang memproduksi batu bata merah.  Sepanjang perjalanan, banyak mereka temukan orang-orang yang berada di sebuah gubuk sedang mengolah batu bata. Ada juga batu bata yang tengah dijemur ataupun dibakar.

Mata Dodik sesekali melirik kanan kiri. Ia berusaha mengingat-ingat tempat yang ia tunjukkan. Lesehan Banjarsari.
Ika yang memang membonceng motor yang dikendarai Dodik, melihat kesibukan dari temannya itu.

“Banjarsari itu masih jauh, Dik.”

“Iya ka, tempatnya itu ada di sisi, terus ada gang, kalo gak salah langsung masuk ke sana”
Ika yang tak tahu apa-apa, hanya mengangguk saja. Tapi ia heran juga melihat temanya itu, belum juga masuk daerah Buaran,dia sudah tengok sana tengok sini. Padahal kan Banjarsari itu kalo dari arah Bantarkawung melewati Buaran dulu. Duh... jadi garuk-garuk kepala deh si Ika ini.

Motor kini telah melewati Buaran dan sebentar lagi masuk Baanjarsari. Iyoz yang jalan di depan dengan memboncengkan Arini berhenti sebentar.

“Belok kan? Di mana atuh Dik, sok ah kamu aja dulu” Iyoz berhenti mempersilahkan Dodik Jalan duluan. Tapi, Dodik yang menjadi pemandu malah garuk-garuk kepala. Arini sama Ika lebih lagi. Bingung sendiri. Yang mereka tahu, daerah Banjarsari itu gak ada lesehannya.

“Kunaon Dik?”
“Asanamah lain di dieu da tempatna, ngke heula nya” Dodik malah memutar balik motornya ke arah Karangwungu sambil sesekali matanya tengok kanan tengok kiri. Takut tempat yang ia maksud telah terlewat.

“Itumah sawah Dik, bukan pemancingan,” Ika nyletuk ketika Dodik agaak melambatkan motornya di depan sawah yang siap untuk di tanam padi.
Dodikpun lalu menancapkan gasnya lagi. Iyoz yang dari tadi mengikuti Dodik, menyelip dengan motornya.

“ Gimana? Aya teu...Dik?” tanya Iyoz dari balik motornya.
Dodik yang di tanya malah minggir ke tepi lalu memberhentikan sepeda motornya.Iyozpun mengikuti.

“ Perasaan tempatnya itu ada sawah di pinggirnya, lalu di pinngir yang lainnya ada rumah, nah dari situ masuk gang, gak jauhlah tempatnya dari situ”  Dodik menjelaskan sambil mengamati sekitar. Persis polisi yang sedang waspada terhadap suatu keadaan.

“Ya sudah kita cari dulu ke sana, Kali aja rumah makan sate yang ada di perempatan Legok itu yang dimaksud” celetuk Ika menebak yang di maksud Dodik.

“Bukan sate Ika, tapi pemancingan...... kumaha sih,” Sahut Dodik membela diri.

“Orang yang di situ mah tempat sate kok” Ika tak mau kalah.
Sementara Iyoz dan Arini menguap keras-keras. “Hoammm...Lanjut gak nih..?!”

“ Lanjut dong..”
“Ya sudah , ayo... !!”

Motor mereka kini kembali ke arah Buaran. Tapi kini lebih jauh lagi bahkan melewati Banjarsari.
Kala melewati jembatan Buaran, ada sebuah Pemancingan dengan tempat makan di sananya.

“Ini bukan Dik?” Kata Iyoz sambil menoleh ke belakang.
Dodik hanya menggeleng. “bukan.. bukan..”

Motor berjalan lebih menjauhi desa Buaran. Hingga sampailah di perempatan Legok. Kebetulan detail yang ada sama persis dengan apa yang di bayangkan Dodik. Sebuah Gang dengan rumah di samping Kanan. Dan sawah di samping kiri.
“Nah, Ini nih... asli benerlah yang ini mah,” Dodik begitu yakin bahwa itu adalah tempatnya.

“Hah...... Yang bener, bukannya kalo masuk daerah sini yang ada hanya sawah di mana-mana, Yang untuk sampai rumah-rumahpun agak jauh lagi. Apa mungkin ada tempat makan semacam lesehan di daerah sini. Orang-orang kan biasanya nyari di tempat yang rame. Ah... tapi aku kan lama gak berada di sini. Barangkali semuanya sudah berubah. Bathin Ika dalam hati.

Benar saja setelah lebih masuk ke dalam, yang ada hanya sawah-sawah belaka. Kiri kanan hanya sawah. Jalanpun berubah jadi jalan setapak. Kadang berkelok-kelok, Kadang naik turun, batu kerikil ada di mana-mana. Duh..duh..duh...

Tapi Dodik tak patah semangat. Dia yakin kalo nanti akan menemukan tempat itu. Ya, dan tak ada yang paling istimewa dari sebuah keyakinan. Bukankah begitu.

Iyoz, Ika dan Arini merasa semuanya sudah berjalan cukup jauh. Dan tak ada pilihan lain lagi, Mereka pun malah semakin senang dengan perjalanan itu. Perjalanan mencari tempat pemancingan hingga sampai di jalan setapak. Mereka ingin tahu, bagaimana nanti akhir dari perjalanan ini. Apakah akan ketemu?

Jalan setapak sudah cukup panjang dilalui, namun tempat pemancingan belum juga ditemukan. Tapi beruntung, mereka menemukan tempat pemukiman warga. Tanpa basa-basi mereka langsung bertanya pada Bapak-bapak yang kebetulan lewat di sana”

“Ma’af Pak, numpang nanya. Di sini, tempat pemancingan di mana ya?”
“ Owh.. pemancingan ya... dari sini jalan lurus, belok kiri lalu belok kanan”
“Matur nuwun nggih pak...”
“Sami-sami..”

YES..... akhirnya ketemu juga. Dan ini yakin pasti sudah Benar. Dodik membathin dalam hati.
Motor pun berjaln mengikuti arah yang di tunjukkan.Tapi... tunggu...tunggu... kenapa jalannya makin ancur begini. Melewati kebun bambu.  Lalu ada sungai kecil sehinnga mereka harus menyebrangi sebuah jembatan kecil yang terbuat dari kayu. Alamaaaaaaak.............

“Belok Kanan katanya, Dik” Ika mengingatkan
Dodik pun mengikuti petunjuk.
“ Belok kiri.. belok kiri....”
“Yapz..” Dodik bertindak sigap.
Sementara Iyoz sama Arini mengikuti dari belakang.

“Mana nih tempatnya, hanya ada kebun bambu”

Semuanya memandangi ke sekitar. Kini tatapan mereka memandang satu arah yang sama.

“Hah...... KANDANG SAPIII !!” teriak mereka berbarengan. Mana 'kotorannya' begitu banyak pula. GUBRAK!!!!
“ Dodiiiiiiiik.....!!!!” \--/!!

Jakarta, 04 Oktober 2011.
Mengingat kegokilan di siang bolong.


 

Senin, 03 Oktober 2011

Tentang Alamku



Aku merindukanmu, alamku.  Tempat aku lahir,tumbuh, dan menginjakkan kaki dalam indahnya gelak tawa yang kami ukir demi sebuah keingintahuan.

Biar kuperkenalkan tentangnya di sini. Buaran namanya. Sebuah desa yang berada dalam wilayah Pangebatan, kecamatan Bantarkawung, kabupaten Brebes.

Sawah-sawahnya membentang luas menghias warna hijau hingga kuning dalam lukisan mayapada.

Aku merindukanmu, ketika aku dengan riangnya mengayuh sepeda menulusuri jalan Cipanas yang sepi dan lengang. Menikmati hijaunya pohon jagung yang siap di panen,atau sekedar mencari bung-bunga indah di depan penggilingan padi.

Aku merindukanmu, kala kami bermain petak umpet di atas tumpukan jerami  lalu membuat terompet dari batang-batang jerami.

Kala senja berganti petang, di bawah terang rembulan dan orkestra  kodok riang, Kami berjalan sambil mendekap  Alqur’an untuk  mengeja huruf hija’iyah.

Aku merindukanmu, tanah lahirku. Sebuah tempat di mana perjalanan mungilku terpeta di sana.

Haiiii ... tunggu aku, rinduku akan slalu membuncah untukmu.




Sabtu, 17 September 2011

Cerpenku ( Aku dan Pak Tua)


 Oleh : Rosika Azahra


Malam kian meranggas laju waktu. Bersiap untuk menggantikan Dewi rembulan dengan sang raja siang. Dan di sini aku masih menatap sahabat terbaik dalam hidupku. Semalaman ia tak tidur, hanya duduk terpekur di atas ranjang kayu yang sudah reot. Sesekali ia menggulung tembakau lalu menghisapnya dalam-dalam.

Ia menyendiri tanpa sanak family bahkan tanpa secangkir kopi pahit maupun teh manis yang menemani. Menurutnya, hidupnya sudah terasa amat manis dengan berbagai macam cerita pahitnya. Kadang, tatapannya kosong menerawang di temani batuk-batuk kecil.

Wajahnya kini nampak layu. Keningnya keriput meninggalkan lekukan-lekukan kulit yang mengkerut. Sementara matanya terlihat lebam. Dia sudah teramat tua ternyata. Biar kuhitung dulu. Hmm, sudah cukup lama juga, 10 tahun aku dan dia berteman akrab.

~~&&~~


Kala itu aku pontang-panting sendiri di jalanan. Langkahku menjelajah kemana roda berputar. Ya, perputaran siang dan malam menggiringku singgah di berbagai tempat.
Pernah _bahkan sering_ aku terdampar di bak penampungan sampah. Bergelut bersama nyamuk dan lalat yang asyik mengerumuni tumpukkan sampah yang teronggok dengan bau yang sangat menusuk. Lalu, dunia melemparkanku lagi ke tepi-tepi jalan menatap orang-orang yang berlalulalang tanpa sedikitpun mereka mempedulikan keberadaanku.

Hanya mungkin segelintir anak kecil yang juga menganggapku tak berguna, mereka menjadikanku bak bola sepak, tendang sana tendang sini hingga akupun terlempar di pinggiran sungai dekat pemukiman kumuh di bawah jembatan. Kalau kalian mau tahu, sesungguhnya hatiku ini serasa teriris sembilu, berkali-kali tak ada yang menganggapku sedikitpun.

~~&&~~


Hingga akhirnya aku dipertemukan dengan pak tua itu. Di sanalah, di bawah jembatan kami bertemu. Bajunya compang-camping penuh tambalan begitupun dengan topi yang melekat di kepalanya, sama kusamnya.

Kala itu ia seperti orang linglung, berjalan tak tentu arah. Tak begitu jauh dengan keadaan diriku. Mungkin persamaan nasiblah yang membuat kita merasa dekat. Semacam chemistry, itulah mungkin kata-kata yang lebih tepat yang biasa digunakan oleh orang-orang berpendidikkan di luar sana untuk menggambarkan kedekatan kita.

Dalam kelinglungannya, pria berbaju rombeng itu mengamatiku takzim. Kamipun saling menyapa, berkenalan layaknya mereka. Dia membawaku ke gubuk sederhana ini. Memolesku dengan warna merah menyala. Kala polesan terakhirnya selesai, iapun berkata "Lihatlah esok kawan, betapa mentari akan takluk pada merahmu yang menyala" lalu ia akan terkekeh dengan linangan air mata di sudut-sudut matanya.

~~&&~~


Dialah pria tengah baya yang mencoba tersenyum dalam kegetiran. Sang penantang matahari sejati dengan baju compang-camping dilengkapi peci butut yang sisi-sisinya sudah carut marut. Kini ia sudah teramat tua, usianyapun sudah hampir mendekati 80-an. Setiap ia mengayunkan langkahnya, nafasnya nampak begitu tersengal.

Ya, dialah sahabat terbaik dalam hidupku. Dia merawatku selama hampir 10 tahun. Di kala tak ada seorangpun yang menghiraukan keberadaanku, dialah orang yang menganggap aku ada dan berguna. Tiap kali warna kesukaannya luntur dari tubuhku, ia akan memolesnya ulang. Bahkan tak jarang ia menambahkan gambar cantik penuh artistik.

Kala hujan turun mengguyur kota, dia pasti akan menyelamatkanku terlebih dahulu. Tak pernah ia membiarkan air hujan itu menyentuh secuilpun dari tubuhku. Sementara tubuhnya sendiri basah kuyup oleh kucuran-kucuran air hujan.
"Kau paling rentan dengan air kawan. Sedangkan aku, hujan dan terik mentari sudah santapanku sehari-hari" itulah yang ia katakan padaku ketika aku bertanya padanya kenapa ia begitu mengkhawatirkan keadaanku dari pada kesehatannya

Tentang keluarganya, ah entahlah. . . Dia tak pernah mau bercerita tentang mereka. Hanya saja suatu kali di siang yang begitu terik, kala orang-orang berlalu lalang dan mengacuhkannya, hanya mungkin beberapa gelintir orang saja yang menyisihkan recehannya ke arahku, pak tua itu bercerita sedikit tentang keluarga. Sebenarnya bukan cerita, lebih tepatnya sepatah kata tentang keluarga.
"Keluarga akan selalu bersama saat suka maupun duka. Bukan malah membuangnya, mengacuhkannya, melemparkannya bak sampah yang sudah tak berguna" tatapanya begitu tajam menyiratkan sebuah kebencian.

"Mungkin kalau aku tak ingat hidup ini adalah amanah, dulu aku sudah terjun saja dari jembatan ini ke sungai penuh batu itu. Tamat sudah. Tapi tidak kawan, setidaknya aku ingin berusaha mempertahankan hidup ini meski harus dianggap hina seperti ini, biar saja. . Uhuk, uhuk . ." Pak tua itu bergumam lirih.
Sementara mentari masih setia dengan hawa panasnya. Seolah siap untuk memanggang tubuh pak tua yang kian ringkih. Dialah sang penantang matahari sejati.

~~&&~~



Malam ini hujan sangat lebat. Tubuh pak tua menggigil kedinginan. Tak ada selimut tebal di sana. Entah dengan cara apa aku harus membantunya. Igauannya begitu menggema di telingaku. Andai saja aku bisa melakukannya, aku sangat ingin mencarikan selimut untuknya lalu menutupi sekujur tubuhnya dengan selimut itu hanya sekedar untuk menghangatkan badannya dari dingin yang begitu menggigil. Matanya kini terpejam dengan tubuh yang meringkuk di atas ranjang reot kesayangannya. Senyumnya mengembang seolah berkata "aku akan menaklukkan dingin layaknya aku menaklukkan panas"

Ah, dia memang sang penantang sejati.
Kini pagi telah datang kembali dengan semburat cahaya terangnya. Pak tua berusaha bangkit dari tidurnya. Tubuhnya gemetar, gigi-giginya bergeretak mungkin ini efek dari kedinginan tadi malam. Aku mencoba menasehatinya supaya ia istirahat saja hari ini. Tapi ia membantah.
"Aku tak ingin menjadi seorang pemalas, kawan" suaranya parau. Perlahan ia menghampiriku. Lalu mengusap tubuhku perlahan. Senyumnya mengembang dengan tubuh yang masih gemetar.
"Lihatlah, kau kini sudah mulai kusam. Biar nanti aku memolesmu ulang"

Aku tak bisa berkata apa-apa. Aku hanya bisa terdiam. Kini langkahnya telah siap untuk menantang matahari lagi. Tepat di ujung jembatan, langkahnya berhenti lalu ia duduk bersila seperti biasa. Mentaripun terus bergulir membawa setiap detik dengan sinarnya yang begitu terang. Sementara orang-orang itu masih saja berlalulalang di mana sebagian besarnya tak pernah menganggap kami ada.


Hingga akhirnya aku merasakan rintik-rintik hujan turun membasahi tubuhku dan pak tua. Semakin deras dan deras. Tapi aneh, kawanku itu tak bergeming sedikitpun. Kali ini ia tidak segera berteduh dan menyelamatkanku dari rintikan hujan seperti biasanya. Ia benar-benar terdiam dengan mata terpejam sementara seulas senyumnya sedikit mengembang.
Selang tak berapa lama, banyak orang yang mengerumuni pak tua. Bahkan sebagian dari mereka membopong tubuh pak tua. Entah mau di bawa ke mana. Sementara aku, tak ada seorangpun yang menghiraukan keberadaanku. Aku tertinggal sendiri. Aku terpisah dengan sahabat terbaikku. Ah, akankah aku benar-benar sendiri lagi??

Dari arah Utara aku melihat seorang gemuk menghampiriku. Ia memperhatikanku takzim. Tapi perlahan senyumnya menyeringai menyeramkan. Secepat kilat ia mengambil keping-keping hasil jerih payahku dengan pak tua seharian tadi. Lalu tanpa pikir panjang ia melemparkanku hingga aku terdampar di antara serpihan puing-puing bangunan. Kini aku benar-benar terdampar, terkapar menjadi si pesakitan dalam sebuah kesendirian.

~~&THE END &~~

Pertemuanku Dengannya

Jika ada pepatah berkata " Pandangan pertama begitu menggoda selanjutnya terserah anda", maka aku akan memakainya dengan " Pertemuan pertama begitu menggoda selanjutnya terserah saya".

Itulah pertama kali aku bertemu dengannya. Mendengar bahwa dia akan menemuiku, entah bagaimana yang aku rasakan. Deg-degan, itulah yang kurasakan.

Sebelumnya, aku tlah lama menunggunya. Menunggu bahwa aku benar-benar bisa menghabiskan tiap detik waktuku bersamanya.Menikmati siluet senja sembari menghirup aroma teh bersama.

Ya, hingga akhirnya senja itu datang. D'black Ikaroku ( begitu aku menamainya) benar-benar datang untukku. Dia begitu rapi dengan dandanannya yang begitu elegan. Tersenyum, lalu mengerlingkan matanya padaku.

"Sambutlah aku, gerakkan jemarimu untuk melukis hiasan tintamu di tubuhku"

Aku hanya tersenyum. Lalu,secepat kilat menyambutnya dengan belaian manja.

"Kumohon bantu aku untuk bisa melukiskan semuanya untukmu, , .untuk kita, , ,untuk mereka yang ku cinta," aku meremas jemarinya erat. D'black Ikaroku, laptop baruku.