Halaman

Sabtu, 17 September 2011

Cerpenku ( Aku dan Pak Tua)


 Oleh : Rosika Azahra


Malam kian meranggas laju waktu. Bersiap untuk menggantikan Dewi rembulan dengan sang raja siang. Dan di sini aku masih menatap sahabat terbaik dalam hidupku. Semalaman ia tak tidur, hanya duduk terpekur di atas ranjang kayu yang sudah reot. Sesekali ia menggulung tembakau lalu menghisapnya dalam-dalam.

Ia menyendiri tanpa sanak family bahkan tanpa secangkir kopi pahit maupun teh manis yang menemani. Menurutnya, hidupnya sudah terasa amat manis dengan berbagai macam cerita pahitnya. Kadang, tatapannya kosong menerawang di temani batuk-batuk kecil.

Wajahnya kini nampak layu. Keningnya keriput meninggalkan lekukan-lekukan kulit yang mengkerut. Sementara matanya terlihat lebam. Dia sudah teramat tua ternyata. Biar kuhitung dulu. Hmm, sudah cukup lama juga, 10 tahun aku dan dia berteman akrab.

~~&&~~


Kala itu aku pontang-panting sendiri di jalanan. Langkahku menjelajah kemana roda berputar. Ya, perputaran siang dan malam menggiringku singgah di berbagai tempat.
Pernah _bahkan sering_ aku terdampar di bak penampungan sampah. Bergelut bersama nyamuk dan lalat yang asyik mengerumuni tumpukkan sampah yang teronggok dengan bau yang sangat menusuk. Lalu, dunia melemparkanku lagi ke tepi-tepi jalan menatap orang-orang yang berlalulalang tanpa sedikitpun mereka mempedulikan keberadaanku.

Hanya mungkin segelintir anak kecil yang juga menganggapku tak berguna, mereka menjadikanku bak bola sepak, tendang sana tendang sini hingga akupun terlempar di pinggiran sungai dekat pemukiman kumuh di bawah jembatan. Kalau kalian mau tahu, sesungguhnya hatiku ini serasa teriris sembilu, berkali-kali tak ada yang menganggapku sedikitpun.

~~&&~~


Hingga akhirnya aku dipertemukan dengan pak tua itu. Di sanalah, di bawah jembatan kami bertemu. Bajunya compang-camping penuh tambalan begitupun dengan topi yang melekat di kepalanya, sama kusamnya.

Kala itu ia seperti orang linglung, berjalan tak tentu arah. Tak begitu jauh dengan keadaan diriku. Mungkin persamaan nasiblah yang membuat kita merasa dekat. Semacam chemistry, itulah mungkin kata-kata yang lebih tepat yang biasa digunakan oleh orang-orang berpendidikkan di luar sana untuk menggambarkan kedekatan kita.

Dalam kelinglungannya, pria berbaju rombeng itu mengamatiku takzim. Kamipun saling menyapa, berkenalan layaknya mereka. Dia membawaku ke gubuk sederhana ini. Memolesku dengan warna merah menyala. Kala polesan terakhirnya selesai, iapun berkata "Lihatlah esok kawan, betapa mentari akan takluk pada merahmu yang menyala" lalu ia akan terkekeh dengan linangan air mata di sudut-sudut matanya.

~~&&~~


Dialah pria tengah baya yang mencoba tersenyum dalam kegetiran. Sang penantang matahari sejati dengan baju compang-camping dilengkapi peci butut yang sisi-sisinya sudah carut marut. Kini ia sudah teramat tua, usianyapun sudah hampir mendekati 80-an. Setiap ia mengayunkan langkahnya, nafasnya nampak begitu tersengal.

Ya, dialah sahabat terbaik dalam hidupku. Dia merawatku selama hampir 10 tahun. Di kala tak ada seorangpun yang menghiraukan keberadaanku, dialah orang yang menganggap aku ada dan berguna. Tiap kali warna kesukaannya luntur dari tubuhku, ia akan memolesnya ulang. Bahkan tak jarang ia menambahkan gambar cantik penuh artistik.

Kala hujan turun mengguyur kota, dia pasti akan menyelamatkanku terlebih dahulu. Tak pernah ia membiarkan air hujan itu menyentuh secuilpun dari tubuhku. Sementara tubuhnya sendiri basah kuyup oleh kucuran-kucuran air hujan.
"Kau paling rentan dengan air kawan. Sedangkan aku, hujan dan terik mentari sudah santapanku sehari-hari" itulah yang ia katakan padaku ketika aku bertanya padanya kenapa ia begitu mengkhawatirkan keadaanku dari pada kesehatannya

Tentang keluarganya, ah entahlah. . . Dia tak pernah mau bercerita tentang mereka. Hanya saja suatu kali di siang yang begitu terik, kala orang-orang berlalu lalang dan mengacuhkannya, hanya mungkin beberapa gelintir orang saja yang menyisihkan recehannya ke arahku, pak tua itu bercerita sedikit tentang keluarga. Sebenarnya bukan cerita, lebih tepatnya sepatah kata tentang keluarga.
"Keluarga akan selalu bersama saat suka maupun duka. Bukan malah membuangnya, mengacuhkannya, melemparkannya bak sampah yang sudah tak berguna" tatapanya begitu tajam menyiratkan sebuah kebencian.

"Mungkin kalau aku tak ingat hidup ini adalah amanah, dulu aku sudah terjun saja dari jembatan ini ke sungai penuh batu itu. Tamat sudah. Tapi tidak kawan, setidaknya aku ingin berusaha mempertahankan hidup ini meski harus dianggap hina seperti ini, biar saja. . Uhuk, uhuk . ." Pak tua itu bergumam lirih.
Sementara mentari masih setia dengan hawa panasnya. Seolah siap untuk memanggang tubuh pak tua yang kian ringkih. Dialah sang penantang matahari sejati.

~~&&~~



Malam ini hujan sangat lebat. Tubuh pak tua menggigil kedinginan. Tak ada selimut tebal di sana. Entah dengan cara apa aku harus membantunya. Igauannya begitu menggema di telingaku. Andai saja aku bisa melakukannya, aku sangat ingin mencarikan selimut untuknya lalu menutupi sekujur tubuhnya dengan selimut itu hanya sekedar untuk menghangatkan badannya dari dingin yang begitu menggigil. Matanya kini terpejam dengan tubuh yang meringkuk di atas ranjang reot kesayangannya. Senyumnya mengembang seolah berkata "aku akan menaklukkan dingin layaknya aku menaklukkan panas"

Ah, dia memang sang penantang sejati.
Kini pagi telah datang kembali dengan semburat cahaya terangnya. Pak tua berusaha bangkit dari tidurnya. Tubuhnya gemetar, gigi-giginya bergeretak mungkin ini efek dari kedinginan tadi malam. Aku mencoba menasehatinya supaya ia istirahat saja hari ini. Tapi ia membantah.
"Aku tak ingin menjadi seorang pemalas, kawan" suaranya parau. Perlahan ia menghampiriku. Lalu mengusap tubuhku perlahan. Senyumnya mengembang dengan tubuh yang masih gemetar.
"Lihatlah, kau kini sudah mulai kusam. Biar nanti aku memolesmu ulang"

Aku tak bisa berkata apa-apa. Aku hanya bisa terdiam. Kini langkahnya telah siap untuk menantang matahari lagi. Tepat di ujung jembatan, langkahnya berhenti lalu ia duduk bersila seperti biasa. Mentaripun terus bergulir membawa setiap detik dengan sinarnya yang begitu terang. Sementara orang-orang itu masih saja berlalulalang di mana sebagian besarnya tak pernah menganggap kami ada.


Hingga akhirnya aku merasakan rintik-rintik hujan turun membasahi tubuhku dan pak tua. Semakin deras dan deras. Tapi aneh, kawanku itu tak bergeming sedikitpun. Kali ini ia tidak segera berteduh dan menyelamatkanku dari rintikan hujan seperti biasanya. Ia benar-benar terdiam dengan mata terpejam sementara seulas senyumnya sedikit mengembang.
Selang tak berapa lama, banyak orang yang mengerumuni pak tua. Bahkan sebagian dari mereka membopong tubuh pak tua. Entah mau di bawa ke mana. Sementara aku, tak ada seorangpun yang menghiraukan keberadaanku. Aku tertinggal sendiri. Aku terpisah dengan sahabat terbaikku. Ah, akankah aku benar-benar sendiri lagi??

Dari arah Utara aku melihat seorang gemuk menghampiriku. Ia memperhatikanku takzim. Tapi perlahan senyumnya menyeringai menyeramkan. Secepat kilat ia mengambil keping-keping hasil jerih payahku dengan pak tua seharian tadi. Lalu tanpa pikir panjang ia melemparkanku hingga aku terdampar di antara serpihan puing-puing bangunan. Kini aku benar-benar terdampar, terkapar menjadi si pesakitan dalam sebuah kesendirian.

~~&THE END &~~

Pertemuanku Dengannya

Jika ada pepatah berkata " Pandangan pertama begitu menggoda selanjutnya terserah anda", maka aku akan memakainya dengan " Pertemuan pertama begitu menggoda selanjutnya terserah saya".

Itulah pertama kali aku bertemu dengannya. Mendengar bahwa dia akan menemuiku, entah bagaimana yang aku rasakan. Deg-degan, itulah yang kurasakan.

Sebelumnya, aku tlah lama menunggunya. Menunggu bahwa aku benar-benar bisa menghabiskan tiap detik waktuku bersamanya.Menikmati siluet senja sembari menghirup aroma teh bersama.

Ya, hingga akhirnya senja itu datang. D'black Ikaroku ( begitu aku menamainya) benar-benar datang untukku. Dia begitu rapi dengan dandanannya yang begitu elegan. Tersenyum, lalu mengerlingkan matanya padaku.

"Sambutlah aku, gerakkan jemarimu untuk melukis hiasan tintamu di tubuhku"

Aku hanya tersenyum. Lalu,secepat kilat menyambutnya dengan belaian manja.

"Kumohon bantu aku untuk bisa melukiskan semuanya untukmu, , .untuk kita, , ,untuk mereka yang ku cinta," aku meremas jemarinya erat. D'black Ikaroku, laptop baruku.