Halaman

Selasa, 18 Oktober 2011

Karna Kau Istimewa, Selamat berjuang, cinta




Ketika Kau menyeruakkan lantang tentang apa yang kau sebut cita-cita.
Maka di sana akan ada berbagai sebuah nyata, yang akan membuatmu tetap berjalan atau malah mundur meninggalkan medan laga.

Sini, kemarilah mendekat. Biar kubisikkan padamu.
Tak perlu ragu, tak perlu malu, tak perlu terlalu sembilu begitu.
Tatap saja semua. Sugesti adalah senjata. Kekuatan akan bersama sugesti anda.

Atau jika malah nyata berbicara akan suatu beda
Santai saja, justru kau akan mengenal suatu yang tak kau duga, bukan?

Masih ingatkah kau wahai cinta?
Tentang lantunan terindah yang menggema memecah mayapada?

Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu. Dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui ( Al- Baqarah; 216)

Janganlah kamu bersikap lemah dan janganlah (pula) kamu bersedih hati. Padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya) jika kamu adalah orang-orang yang beriman (QS Al Imran ; 139)

Kalau sudah begitu, bagaimana?
Apa kau masih bermuram durja? Tak pantaslah kau begitu, cinta.
Mari tatap medan bersama. Sunggingkan senyum sukacita. Kau istimewa. Kau adalah pejuang yang berbahagia. Pelangi menunggumu, cinta.

Dan kini, Selamat Berjuang Untukmu, duhai cinta.


Jakarta, 18 Oktober 2011

Selasa, 11 Oktober 2011

Resensi : Berapa Harga Cintamu??





Judul             : Berapa Harga Cintamu?

Penulis          : Cepi Komara

Penerbit         : Krebelia

Tahun Terbit : 2005




Ketika puisi berbicara,maka sebuah kata akan menjadi sebuah cerita indah nan mencengangkan. Kadang, puisi pun menjadi sebuah perenungan tersendiri hingga kita mampu menemukan sebuah arti yang tersembunyi.

Berapa Harga Cintamu adalah sebuah buku yang berisi 45 buah puisi yang kesemuanya hasil karya Cepi Komara. Puisi-puisi ini dibuat penulis semenjak pertama kali ia menulis, baik yang pernah dipublikasikan di majalah dinding sekolah, media-media cetak maupun yang belum dipublikasikan di media manapun. Termasuk yang dibuat saat proses revisi buku ini.

Menariknya, dari setiap puisi ternyata ada kisah tersendiri yang melatarbelakangi lahirnya puisi-puisi tersebut. Dari mulai masalah cinta sampai masalah-masalah lainnya.

Bahasanya ringan, mudah dipahami. Dalam pemilihan kata pun, penulis sangat kreatif. Kadang menciptakan istilah baru yang belum pernah ada. Seperti puisi dengan judul Anaphiliani. Di mana Anaphiliani berarti Aku Cinta Kamu (hmm.. dari mana ya penulis mendapatkan arti seperti ini, tengok aja bukunya J ). Beberapa puisi bahkan ada  yang benar-benar menyentuh. Seperti salah satu puisi berikut;




Orang Asing

Aku berjalan di gelapnya jiwa
Tiba-tiba terdengar suara-suara menegur;

Bumi membentak: “ Jangan injak aku!”
Langit melotot:” Jangan menatapku!”
Pohom mengusir:” Jangan berteduh di sini”
Bulan menampik:” Aku bukan temanmu!”
Bintang memaki:” Bodoh, aku tak bisa memberi apa-apa!”
Hujan mengejek:” Dasar cengeng! Begitu saja menangis”
Matahari berseru:” Sudah, tetaplah di kegelapan!”

Akhirnya aku pulang ke rumah
Menemui orang tua dan saudara-saudaraku
Mereka menyambutku seperti tamu
Lalu bertanya,”Berapa lama mau menginap??”

Aku merasa mau mati saja
Tapi kuburan malah marah,
“Heh pesimis gila, ini belum saatnya!”

Hanya satu rumah yang mau menerimaku
Bahkan untuk siapapun
Pintu-Nya selalu terbuka
Lalu aku bertanya pada sesama pengunjung

“Kemana tuan rumahnya?”
Dia menjawab sambil tersenyum
“Dia tidak kemana-mana, tapi ada di mana-mana.
Ia sangat mengenali kita walaupun kita tak mengenal-Nya.”

Aku bertanya lagi,” Apa rumah ini bisa jadi rumahku?”
Ia menjawab,”Asal hatimu jadi rumah-Nya...”

2003


Terlepas dari masalah EYD , seperti dalam penulisan setiap judul puisi yang tidak diawali dengan huruf kapital, buku ini sangatlah keren. Memberikan gambaran kepada kita bahwa ‘inilah hidup’ dengan segala intrik ceritanya. Dan mari berkarya lewat kata-kata.                                                                                                                                                                       

Sabtu, 08 Oktober 2011

Mana Tempat Pemancingannya, Ya..?


Lebaran diundur ( sebenarnya bahasa yang lebih tepatnya apa ya, hehe ). Untuk memanfaatkan waktu yang ada, anak-anak IPA alumni SMA N 01 Bantarkawung _ atau sering disebut Cemara Lima_ 2007, merencanakan acara reuni sebagai ajang silaturrahim. Semuanya kumpul di rumah Chichi yang bertempat di Jipang. Rapat acara pun berlangsung seru.

Setelah berunding memikirkan rencana acara, maka buka bersamalah yang menurut mereka paling cocok, mengingat waktu yang kian meped bagi para perantau untuk balik lagi melakukan aktifitasnya di tanah rantau.

“Kita butuh tempat untuk melangsungkan acara ini,bos” Kata Freedy sambil membereskan jambul rambutnya.
Sementara Dodik dengan otak krirtisnya nampak berfikir 180 derajat. Matanya sesekali berkerling-kerling menunjukkan dia telah menemukan ide cemerlang.

“Aku tau, tempat yang enak. . . lesehan di Banjarsari,di sana harganya agak miring bos menyaingi miringnya menara Pisa di Roma” kata Dodik dengan Ekspresi yakinnya. Sesekali fikirannya melayang membayangkan lele-lele yang berhasil ia tangkap. Dia tersenyum senang.

Ika dan Rini hanya terbelalak mengamati tingkah Dodik. Mereka yang memang orang Buaran_dekat Banjarsari_ hanya bisa melongo menanggapi usul Dodik.

“Emang ada ya lesehan di Banjarsari??” Kata Ika dan Rini berbarengan.

“Ah kau, kalian ini perantau sejati, mana tau perkembangan daerah sini,” Dodik membela diri.

“Benar gak Zan?” lanjutnya sambil melirik Fauzan yang dari tadi sibuk berhay ria dengan Diah yang berada di sampingnya. Maklum dia kan baru datang ketika acara sudah dimulai.
Fauzan yang kaget hanya bisa bergidik nyengir “ Entahlah” , jawabnya singkat sembari melanjutkan temu kangennya bersama Diah.

“Ah.. sudahlah, kalian ini banyak bertele-tele. Memangnya kau pernah ke sana Dik?” Salli dengan muka seorang profesionalnya melanjutkan sesuatu yang menurutnya bertele-tele itu.:)

“Kau ini, meragukan pengetahuanku ya....  Aku pernah ke sana sebelumnya. Tempatnya pokoknya asyik lah.Kita memancing sendiri di sana.”

Semuanya nampak manggut-manggut dengan penuturan Dodik. Bahkan saking semangatnya, anggukan Fauzan menjatuhkan kepalanya hampir mengenai lantai. Dan ternyata ia bukan ikut manggut-manggut, tapi ia itu sedang mengantuk berat.

“ Ya sudah, bagaimana kalo sekarang juga di antara kita ada yang survei ke sana” Usul Titi dengan gayanya yang atletis.
“Lebih baik yang ke sana itu Dodik sama Iyoz aja sekalian nganter Ika sama Arini pulang ke rumah, bagaimana?” lanjutnya lagi.
“Okelah kalau beg..beg... beg...........” Yogi menjawab ala warteg band, tapi sayang dia tak mau berhenti untuk terus mengucapkan beg... beg.. beg.... Akhirnya ia bersenandung ala bebek :)

*****

Siang itu benar-benar begitu terik. Tapi teriknya mentari tidak menyurutkan langakah mereka untuk  mencari tempat lesehan demi kelancaran buka bersama. Sesekali Fatamorgana menghampiri Mereka. Jalan–jalan beraspal berubah menjadi padang pasir. Lalu di sisi-sisinya kaktus mengelilingi. Ika, Arini, Dodik dan Iyoz terpaksa menelan ludah sendiri. Batal puasa gak ya mereka itu? :)

Motor mereka sudah melintasi persawahan Bantarkawung. Lalu lanjut menuju Pertigaan Pangebatan. Hingga akhirnya melintasi perbukitan Cemara lima.Di sanalah sekolah mereka bertengger dengan gagahnya. Sekolah yang pernah mewarnai  hari-hari  mereka. Belajar dengan ditemani suara sapi-sapi yang lapar mencari rumput. Atau mbek-mbek yang mengembek ingin ikut belajar berhitung. Katanya supaya bisa ikut negosiasi jika nanti harganya disalahgunakan.:)

Kini mereka melintasi daerah Karangwungu. Sebuah desa yang memproduksi batu bata merah.  Sepanjang perjalanan, banyak mereka temukan orang-orang yang berada di sebuah gubuk sedang mengolah batu bata. Ada juga batu bata yang tengah dijemur ataupun dibakar.

Mata Dodik sesekali melirik kanan kiri. Ia berusaha mengingat-ingat tempat yang ia tunjukkan. Lesehan Banjarsari.
Ika yang memang membonceng motor yang dikendarai Dodik, melihat kesibukan dari temannya itu.

“Banjarsari itu masih jauh, Dik.”

“Iya ka, tempatnya itu ada di sisi, terus ada gang, kalo gak salah langsung masuk ke sana”
Ika yang tak tahu apa-apa, hanya mengangguk saja. Tapi ia heran juga melihat temanya itu, belum juga masuk daerah Buaran,dia sudah tengok sana tengok sini. Padahal kan Banjarsari itu kalo dari arah Bantarkawung melewati Buaran dulu. Duh... jadi garuk-garuk kepala deh si Ika ini.

Motor kini telah melewati Buaran dan sebentar lagi masuk Baanjarsari. Iyoz yang jalan di depan dengan memboncengkan Arini berhenti sebentar.

“Belok kan? Di mana atuh Dik, sok ah kamu aja dulu” Iyoz berhenti mempersilahkan Dodik Jalan duluan. Tapi, Dodik yang menjadi pemandu malah garuk-garuk kepala. Arini sama Ika lebih lagi. Bingung sendiri. Yang mereka tahu, daerah Banjarsari itu gak ada lesehannya.

“Kunaon Dik?”
“Asanamah lain di dieu da tempatna, ngke heula nya” Dodik malah memutar balik motornya ke arah Karangwungu sambil sesekali matanya tengok kanan tengok kiri. Takut tempat yang ia maksud telah terlewat.

“Itumah sawah Dik, bukan pemancingan,” Ika nyletuk ketika Dodik agaak melambatkan motornya di depan sawah yang siap untuk di tanam padi.
Dodikpun lalu menancapkan gasnya lagi. Iyoz yang dari tadi mengikuti Dodik, menyelip dengan motornya.

“ Gimana? Aya teu...Dik?” tanya Iyoz dari balik motornya.
Dodik yang di tanya malah minggir ke tepi lalu memberhentikan sepeda motornya.Iyozpun mengikuti.

“ Perasaan tempatnya itu ada sawah di pinggirnya, lalu di pinngir yang lainnya ada rumah, nah dari situ masuk gang, gak jauhlah tempatnya dari situ”  Dodik menjelaskan sambil mengamati sekitar. Persis polisi yang sedang waspada terhadap suatu keadaan.

“Ya sudah kita cari dulu ke sana, Kali aja rumah makan sate yang ada di perempatan Legok itu yang dimaksud” celetuk Ika menebak yang di maksud Dodik.

“Bukan sate Ika, tapi pemancingan...... kumaha sih,” Sahut Dodik membela diri.

“Orang yang di situ mah tempat sate kok” Ika tak mau kalah.
Sementara Iyoz dan Arini menguap keras-keras. “Hoammm...Lanjut gak nih..?!”

“ Lanjut dong..”
“Ya sudah , ayo... !!”

Motor mereka kini kembali ke arah Buaran. Tapi kini lebih jauh lagi bahkan melewati Banjarsari.
Kala melewati jembatan Buaran, ada sebuah Pemancingan dengan tempat makan di sananya.

“Ini bukan Dik?” Kata Iyoz sambil menoleh ke belakang.
Dodik hanya menggeleng. “bukan.. bukan..”

Motor berjalan lebih menjauhi desa Buaran. Hingga sampailah di perempatan Legok. Kebetulan detail yang ada sama persis dengan apa yang di bayangkan Dodik. Sebuah Gang dengan rumah di samping Kanan. Dan sawah di samping kiri.
“Nah, Ini nih... asli benerlah yang ini mah,” Dodik begitu yakin bahwa itu adalah tempatnya.

“Hah...... Yang bener, bukannya kalo masuk daerah sini yang ada hanya sawah di mana-mana, Yang untuk sampai rumah-rumahpun agak jauh lagi. Apa mungkin ada tempat makan semacam lesehan di daerah sini. Orang-orang kan biasanya nyari di tempat yang rame. Ah... tapi aku kan lama gak berada di sini. Barangkali semuanya sudah berubah. Bathin Ika dalam hati.

Benar saja setelah lebih masuk ke dalam, yang ada hanya sawah-sawah belaka. Kiri kanan hanya sawah. Jalanpun berubah jadi jalan setapak. Kadang berkelok-kelok, Kadang naik turun, batu kerikil ada di mana-mana. Duh..duh..duh...

Tapi Dodik tak patah semangat. Dia yakin kalo nanti akan menemukan tempat itu. Ya, dan tak ada yang paling istimewa dari sebuah keyakinan. Bukankah begitu.

Iyoz, Ika dan Arini merasa semuanya sudah berjalan cukup jauh. Dan tak ada pilihan lain lagi, Mereka pun malah semakin senang dengan perjalanan itu. Perjalanan mencari tempat pemancingan hingga sampai di jalan setapak. Mereka ingin tahu, bagaimana nanti akhir dari perjalanan ini. Apakah akan ketemu?

Jalan setapak sudah cukup panjang dilalui, namun tempat pemancingan belum juga ditemukan. Tapi beruntung, mereka menemukan tempat pemukiman warga. Tanpa basa-basi mereka langsung bertanya pada Bapak-bapak yang kebetulan lewat di sana”

“Ma’af Pak, numpang nanya. Di sini, tempat pemancingan di mana ya?”
“ Owh.. pemancingan ya... dari sini jalan lurus, belok kiri lalu belok kanan”
“Matur nuwun nggih pak...”
“Sami-sami..”

YES..... akhirnya ketemu juga. Dan ini yakin pasti sudah Benar. Dodik membathin dalam hati.
Motor pun berjaln mengikuti arah yang di tunjukkan.Tapi... tunggu...tunggu... kenapa jalannya makin ancur begini. Melewati kebun bambu.  Lalu ada sungai kecil sehinnga mereka harus menyebrangi sebuah jembatan kecil yang terbuat dari kayu. Alamaaaaaaak.............

“Belok Kanan katanya, Dik” Ika mengingatkan
Dodik pun mengikuti petunjuk.
“ Belok kiri.. belok kiri....”
“Yapz..” Dodik bertindak sigap.
Sementara Iyoz sama Arini mengikuti dari belakang.

“Mana nih tempatnya, hanya ada kebun bambu”

Semuanya memandangi ke sekitar. Kini tatapan mereka memandang satu arah yang sama.

“Hah...... KANDANG SAPIII !!” teriak mereka berbarengan. Mana 'kotorannya' begitu banyak pula. GUBRAK!!!!
“ Dodiiiiiiiik.....!!!!” \--/!!

Jakarta, 04 Oktober 2011.
Mengingat kegokilan di siang bolong.


 

Senin, 03 Oktober 2011

Tentang Alamku



Aku merindukanmu, alamku.  Tempat aku lahir,tumbuh, dan menginjakkan kaki dalam indahnya gelak tawa yang kami ukir demi sebuah keingintahuan.

Biar kuperkenalkan tentangnya di sini. Buaran namanya. Sebuah desa yang berada dalam wilayah Pangebatan, kecamatan Bantarkawung, kabupaten Brebes.

Sawah-sawahnya membentang luas menghias warna hijau hingga kuning dalam lukisan mayapada.

Aku merindukanmu, ketika aku dengan riangnya mengayuh sepeda menulusuri jalan Cipanas yang sepi dan lengang. Menikmati hijaunya pohon jagung yang siap di panen,atau sekedar mencari bung-bunga indah di depan penggilingan padi.

Aku merindukanmu, kala kami bermain petak umpet di atas tumpukan jerami  lalu membuat terompet dari batang-batang jerami.

Kala senja berganti petang, di bawah terang rembulan dan orkestra  kodok riang, Kami berjalan sambil mendekap  Alqur’an untuk  mengeja huruf hija’iyah.

Aku merindukanmu, tanah lahirku. Sebuah tempat di mana perjalanan mungilku terpeta di sana.

Haiiii ... tunggu aku, rinduku akan slalu membuncah untukmu.