Move On Bersama Syeikh Hasan Al-Banna
Tempat Terbit : Bandung
Tahun Terbit : 2012
Harga : Rp.
69.000,-
ISBN : 978-602-84-5895-5
Fazlur Rahman membagi pembaruan dalam islam menjadi 4 periode; Revivalisme pramodernis, modernisme klasik, neorevivalisme dan neomodernisme. M. Irfan Hidayatullah, mengambil periode neorevivalisme dalam novelnya “Sang Pemusar Gelombang”. FYI, Neorevivalisme adalah gerakan yang lebih menekankan pemikiran islam secara total. Islam sebagai sistem hidup yang mengatur kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Di mana salah satu tokoh dari neorevivalisme adalah Syekh Hasan Al-banna dari Mesir.
Syeikh Hasan adalah salah satu tokoh yang mampu
menunjukkan prestasi-prestasinya di usia
muda. Beliau adalah sosok pendakwah yang selalu menyampaikan pemikirannya di
berbagai tempat. Salah satunya adalah berdakwah di warung-warung kopi. Beliau
juga mendirikan sebuah perkumpulan yang diberi nama ‘Ikhwanul Muslimin’ yang
dalam perkembangannya tidak hanya merambah Asia dan Afrika saja tapi juga
hingga Andalusia, Prancis, dan sebelah Barat Laut Italia.
Kecemerlangan prestasi dari Syeikh Hasan di usia muda inilah
yang kemudaian membuat Randi, salah satu tokoh dari novel ini, memilih menjadi
seorang aktivis kampus, meski pada awalnya mengalami penolakan dari keluarganya
yang moderat. Dan ini jugalah yang mempertemukan dia dengan tokoh Hasan.
Seorang pemuda yang sedang mencari jati diri masa lalunya. Hasan adalah anak
dari Kyai Rasyid, tokoh masyarakat yang menjadi korban kaum kapitalis dalam
sebuah pembangunan mall di atas pekuburan masyarakat. Teka-teki yang harus
Hasan kuak adalah tentang kematian ayahnya juga tentang sebuah nama yang
diberikan sang ayah kepadanya. Hasan Al-Banna. Sementara Cikal adalah seorang
superstar yang tengah naik daun. Di atas kepopularitasannya, Cikal merasa
limbung dengan semuanya, terlebih ketika mendapat sedikit tamparan dari seorang
gadis yang ia sebut sebagai Najwa. Dari 3 pemuda inilah, novel ini bercerita.
Hingga menghubungkan ke-3nya pada sebuah pusaran perjuangan pada sebuah aksi
solidaritas untuk Palestina.
Meski saya sempat menemukan kesalahan POV dalam novel ini,
tepatnya pada halaman 234, tapi tetap membuat novel ini sangat bagus untuk dibaca.
M. Irfan Hidayatullah tidak hanya bercerita fiksi, tapi juga bercerita sejarah dengan
penjelasan-penjelasannya yang mudah dicerna oleh para pembacanya. Membaca novel
ini seperti diajak menjelajah ke masa perjuangan Syeikh Hasan Al-Banna.
Pada akhirnya, novel Sang Pemusar Gelombang ini sangat cocok
sekali dibaca terutama untuk para aktivis kampus juga untuk para pemuda yang
tengah dilanda kegalauan mencari sebuah arti diri.