Penulis
: Cepi Komara
Penerbit : Krebelia
Tahun
Terbit : 2005
Ketika puisi berbicara,maka sebuah kata akan menjadi sebuah cerita indah nan mencengangkan. Kadang, puisi pun menjadi sebuah perenungan tersendiri hingga kita mampu menemukan sebuah arti yang tersembunyi.
Berapa
Harga Cintamu adalah sebuah buku yang berisi 45 buah puisi yang kesemuanya
hasil karya Cepi Komara.
Puisi-puisi
ini dibuat penulis semenjak pertama kali
ia menulis, baik yang pernah dipublikasikan di majalah dinding sekolah,
media-media cetak maupun yang belum dipublikasikan di media manapun. Termasuk
yang dibuat saat proses revisi buku ini.
Menariknya,
dari setiap puisi ternyata ada kisah tersendiri yang melatarbelakangi lahirnya
puisi-puisi tersebut. Dari mulai masalah cinta sampai masalah-masalah lainnya.
Bahasanya
ringan, mudah dipahami. Dalam pemilihan kata pun, penulis sangat kreatif.
Kadang menciptakan istilah baru yang belum pernah ada. Seperti puisi dengan
judul Anaphiliani. Di mana Anaphiliani berarti Aku Cinta Kamu (hmm.. dari mana ya penulis
mendapatkan arti seperti ini, tengok aja bukunya J ). Beberapa
puisi bahkan ada yang benar-benar
menyentuh. Seperti salah satu puisi berikut;
Orang
Asing
Aku
berjalan di gelapnya jiwa
Tiba-tiba
terdengar suara-suara menegur;
Bumi
membentak: “ Jangan injak aku!”
Langit
melotot:” Jangan menatapku!”
Pohom
mengusir:” Jangan berteduh di sini”
Bulan
menampik:” Aku bukan temanmu!”
Bintang
memaki:” Bodoh, aku tak bisa memberi apa-apa!”
Hujan
mengejek:” Dasar cengeng! Begitu saja menangis”
Matahari
berseru:” Sudah, tetaplah di kegelapan!”
Akhirnya
aku pulang ke rumah
Menemui
orang tua dan saudara-saudaraku
Mereka
menyambutku seperti tamu
Lalu
bertanya,”Berapa lama mau menginap??”
Aku
merasa mau mati saja
Tapi
kuburan malah marah,
“Heh
pesimis gila, ini belum saatnya!”
Hanya
satu rumah yang mau menerimaku
Bahkan
untuk siapapun
Pintu-Nya
selalu terbuka
Lalu
aku bertanya pada sesama pengunjung
“Kemana
tuan rumahnya?”
Dia
menjawab sambil tersenyum
“Dia
tidak kemana-mana, tapi ada di mana-mana.
Ia
sangat mengenali kita walaupun kita tak mengenal-Nya.”
Aku
bertanya lagi,” Apa rumah ini bisa jadi rumahku?”
Ia
menjawab,”Asal hatimu jadi rumah-Nya...”
2003
Terlepas
dari masalah EYD , seperti dalam penulisan setiap judul puisi yang tidak
diawali dengan huruf kapital, buku ini sangatlah keren. Memberikan gambaran
kepada kita bahwa ‘inilah hidup’ dengan segala intrik ceritanya. Dan mari
berkarya lewat kata-kata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar